Minggu, 05 April 2015



Rindu Yang tak Berujung

Kabut hitam terkatup membisu
Menawan Rembulan yang pucat pasi
Sementara sepi menghimpit sunyi
Lahirlah guratan-guratan perih di hati

Aku semakin tak berdaya
Terpinggirkan oleh rasa sepi
Dan jiwaku menggigil
Tenggelam dalam putaran tanpa akhir

Batinku menghamba
Pada bayang-bayang tanpa makna
Pada lentera yang mulai redup
Dan rindu yang tak berujung

Kini aku kembali disini
Di Pelabuhan terakhir saaat kau pergi
Dan aku akan tetap disini
Sampai kau kembali..

Kala Rindu




Rindu Yang tak Berujung

Kabut hitam terkatup membisu
Menawan Rembulan yang pucat pasi
Sementara sepi menghimpit sunyi
Lahirlah guratan-guratan perih di hati

Aku semakin tak berdaya
Terpinggirkan oleh rasa sepi
Dan jiwaku menggigil
Tenggelam dalam putaran tanpa akhir

Batinku menghamba
Pada bayang-bayang tanpa makna
Pada lentera yang mulai redup
Dan rindu yang tak berujung

Kini aku kembali disini
Di Pelabuhan terakhir saaat kau pergi
Dan aku akan tetap disini
Sampai kau kembali..

Cukup



“Hanya Ini”
Seringkali suara hati bernyanyi lantang, tak pernah dihiraukan oleh mata bahkan telinga. Suara yang sesungguhnya keluar dari hati terdalam bak angin lalu yang tak perlu didengar.
Sebaliknya, ketika kegagalan menyapu masa lalu, kemerduan merata segenap pendengaran, maka logika yang nyaris mengalah pada hati akan keputusan yang diambil. Tidak ada artinya apa-apa. Logika yang bisa menghitung semua perhitungan, menjadi deretan hitung tak berguna.
Lalu, ketika dampak dari suara hati dibiarkan, logika tak dijalankan apalagi kalau bukan penyesalan? Meski banyak orang menyesali kenapa penyesalan selalu datang terlambat, tapi mungkin itu adalah yang tepat. Sehat satu kehidupan telah mendewasakan seorang anak manusia. Sesaat keangkuhan tak kan bisa melawan takdir yang harus terjalani. ‘Baik buruknya’