Jumat, 31 Oktober 2014

Kamu


‘Kamu’


Kamu..
Yang selalu terngiang
Mata ini berbinar, mata ini lebih bersyukur dari hatiku.
Hatiku selalu butuh perantara untuk menikmati keindahan.
Namun mata, dengan bebasnya bisa menikmati keindahanmu.
Walau ku tahu satir islam menghalangi.

Kamu.. Yang selalu terngiang
Rasa ingin memiliki.
Rasa ingin memiliki ini tak pernah ada selain pada Allah.
Rasa ingin memiliki ini, rasanya ingin ku panggil arsitek-arsitek Belanda yang pandai membuat bendungan.
Agar aku dibuatka bendungan hati yang besar dan bisa membendung perasaanku.
Izinkan aku untuk ingin.
Hanya untuk ingin memilikimu.
Maafkan aku atas nama Allah.

Kamu..
Yang selalu terngiang
Yang namanya selalu teringatku.
Ketika kusadar, ketika ku ingat.
Izinkan aku mengagumimu.

Kamu..
Yang selalu terngiang
Aku tak pernah menginginkan kau tergetar.
Cukup hanya aku yang tergetar.
Memandangmu begitu teduh.
Sekalipun aku tahu, Allah Maha Memandangku.

Kamu..
Yang selalu terngiang
Ajari aku beristighfar, karena hampir saja aku lalai.
Kemudian ajari aku berhamdalah, karena Allah memberi kesempatan aku melihatmu.
Kemudian, bimbing aku mengucapkan istighfar yang kuminta kau ajari tadi, agar aku tak semakin lalai.
Aku menghormatimu.

*)binja_eL

Kamis, 30 Oktober 2014

Semburat Cinta



Semburat Cinta
Dalam Sinar Bintang Senja
            --Braaakkk!!!!---
Bunyi yang mngejutkan dari sudut jalam Melati senja itu. Tak seorangpun disana. Sepi, hening. Hanya ada 2 orang yang saling bertatapan namun dengan keadaan kendaraan yang tak begitu baik.
“aduuuuch…….” Rintih si gadis berjilbab biru itu.
“ech ayo tak bantu berdiri mbak..” tawaran seorang lelaki berpeci putih yang sedari tadi menatapnya tak henti.
“nggak usah, bukan muhrim. Ech kalau naik motor nggak usah telfonan mas, jadi nggak hati-hati kan, gini motorku yang jadi korbannya..” celoteh gadis imut itu dengan nada apa adanya yang ia rasakan.
“iya dech maaf. Ada yang luka nggak,?” tanya lelaki itu.
“nggak”
“bener nich,?”
“hm.. tapi  motorku nich lecet!!”
“mau dibawa ke bengkel apa gimana,?”
“ech nggak usah, nggak papa mas. Bantu hidupin aja mas.” Ternyata motornya ngambek setelah jatuh (hohoo)
“nich sudah mbak” dengan memberikan motor si gadis itu dengan tanpa berkedip pun (hahaaa terpesona mungkin)
“ya sudah, Aku duluan mas. Hati-hati kalau naik motor, jangan diulangi lagi!!” pesannya dan seketika itu langsung meninggalkan sudut jalan Melati itu.
            Pertemuan itu mereka akhiri dengan senyuman diantara keduanya. Tapi, sepertinya kedua insan itu saling bertukar rasa. Ya, rasa, entah rasa apa itu. Gadis berjilbab biru itu sudah meninggalkan tempat itu, namun lelaki berpeci putih itu belum juga meninggalkan lokasi itu. Lelaki itu tampak memperhatikan gadis tadi dan nampaknya pun ingin mengenalinya.
            Di tengah jalan dalam fikiran gadis imut itu bertanya “siapa lelaki berpeci putih tadi ya,?” tegas fikirannya.
            Naza, si gadis imut dengan nama lengkap Naza Azkiya Ulfina. Siswi di Madrasah Aliyah Al-‘Uluwiyyah. Seorang gadis yang sangat menekuni beberapa organisasi serta kegiatan-kegiatan di Madrasahnya. Ia juga mengambil jurusa IPA. Ia pun termasuk siswi aktif di kelasnya. Tak heran kalau ia dikenal dekat teman-temannya. Cerewet pula. Namun ia tak mau dibilang lebay karena menurutnya ia apa adanya.
***

            Setelah meninggalkan tempat kecelakaan ringan tadi Naza menuju rumah Chusna, kawan dekatnya. Karena sebelumnya mereka sudah punya rencana bahwa sore ini akan ke toko buku.
“assalamu’alaikum,” ucap Naza sambil mengetuk pintu rumah Chusna.
“wa’alaikumsalam, ya sebentar” jawaban dari dalam rumah.
Tak lama kemudian pintupun terbuka.
“Hech, lama bener, padahal udah sms dari tadi ngomongnya OTW tapi nggak sampai-sampai. Ya sudah tak tinggal masuk lagii kan”,
“hiiich kamu si nggak tau. Akau tadi kena musibah ringan kok”
“haaaa??? Musibah ringan???? Kenapa nho??”
“tadi di pojok jalan Melati sana aku ditabrak orang. Untung nggak kenapa kenapa,”
“oalach..  ya sudah yang penting nggak ada yang luka tha?? Langsung ke toko buku aja yuk,”
“ayo lach”
            Perjalanan 10 menit. Di tengah perjalanan mereka saling bercerita, entah apa yang mereka obrolkan tapi nampaknya serius. Obrolan mereka terhenti barengan dengan sampainya mereka di depan toko buku. Mereka langsung masuk dan Chusna pun menuju kea rah buku-buku sastra serta novel-novel, sedangkan Naza menuju pada setumpukan buku sastra lama. Disaat seriusnya ia memilih buku-buku itu. Tiba-tiba………
“hech mbak”
“astaghfirullah… hiiich ngagetin wae sampeyan”
uuuUUuuuu….. ternyata lelaki berpeci putih itu lagi.
“disini juga mbak,?”
“ya,” jawaban singkat dari Naza.
“umb tadi buru-buru itu mau ke toko buku tha,”
“ya, bisa jadi” –ach kepo banget ya-  (batin Naza)
“oh ya, maaf buat yang tadi.”
“sudah tak maafin mas.”
“rumahmu mana tha mbak??”
“deket Madrasah Al-Imaan, timur Masjid At-Taqwa”
“lho,? Daerah situ?? Kok nggak pernah liat ya??” nampaknya kepo, tapi padahal lelaki itu sering melihat Naza di daerah situ.
Belum di jawab Naza, tapi Chusna keburu datang. Haduuh terpotong dech obrolannya. (huhuuu kasihaan)
“ya sudah, duluan ya mas,” Naza menutup obrolan mereka dan langsung menarik tangan Chusna ke kasir dan langsung pulang.
“Ech Za, cowok tadi siapa?? Kok nggak pernah cerita kalau punya temen ganteng?” celetuk Chusna saat mereka tengah memandangi sinar senja yang indah di ufuk barat.
“hech, bukan temen. Lha wong baru kenal kok. Manis juga kan? Hahaa”
“ciiyeeeeeeee pandangan pertama nich.”
“bisa jadi. Kayaknya santri dech Na,”
“hahaaa kenalan dimana nho,?”
“di toko buku tadi. Heheee”
“lho? Beneran? Kok kelihatannya sudah akrab gitu?”
“hech di itu yang nabrak aku,”
“oalach cinta pandangan pertama di sudut jalan Melati pada senja ini,”
“iiiiiich apaan si. Sudah lach pulang yuk. Besok-besok lagi ya”
“its OK. Hati-hati di jalan ya”
            Bergegas Naza mengajak kedua kakinya meninggalkan tempat indah itu.
            Chusna, teman dekat Naza sejak SD dulu. Yang punya nama lengkap Chusna Zakiya. Siswi di SMA 3 AL Hikmah. Ia bertempat tinggal tak jauh dari tempat tinggal Naza. Chusna pun juga punya LDR lho, alias Long Distance Relationship. Lama Chusna dekat dengan cowok yang punya nama asli Ilham Mubarok. Namun, hari-hari ini hubungan mereka tak begitu baik. Menurut Naza, ada orang ketiga di balik kisah hatinya.
***
            Rembulan semakin terang, hatinya benderang, rasanya tak terbilang, berpijar-pijar lebih dari kunang-kunang, tiada kelam yang terulang karena kini hati telah gembira riang.
            Malam ini Naza tampak gembira, bahkan hatinya seperti disirami kebahagiaan. Mungkin masih terfikir sosok lelaki berpeci putih tadi. Di sisi lain, ia baru saja mendengar lantunan adzan dari seorang santri yang ia kagumi sejak santri itu berada di Masjid dekat rumahnya. Tapi sayangnya, ia belum tahu siapa nama santri itu. Bahkan wajahnya pun belum pernah dilihatnya, ia hanya menyebut santri itu dengan sebutan “mas adzan” (hohoho. Aneh-aneh saja ^^). Lama sudah ia ingin mengenal sosok santri yang bersuara khas itu, tapi terlalu lama. Ya, namun ia tetap teguh menantinya.
            Terhanyut dalam lamunan yang entah kemana arahnya. Ia pun terfikir dengan santri berpeci putih tadi sore. Ia juga merasa sudah mengenalnya, apalagi logatnya bicara tadi hampir mirip dengan suara santri yang biasa melantunkan Al-Qur’an serta adzan itu.
“assalamu’alaikum,” tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dengan mengucap salam.
Saat itu pula Naza meninggalkan lamunannya. Di rumah tak ada siapa-siapa jadi ia yang harus membukakan pintu.
“wa’alaikumsalam,” Naza terkejut, ternyata sosok lelaki berpeci putih itu yang datang ke rumahnya.
“ech lho?? Cari siapa ya mas?”
“bapaknya ada mbak?”
“maaf bapak baru tindak ke rumah saudara, ada apa ya,?”
“oalach, kira-kira pulang jam berapa?”
“nanti jam 9’an mungkin,”
“ya sudah besok tak kesini lagi”
“iya, ada pesan yang mau disampaikan nggak mas,?”
“nggak, nggeh mpun wassalamu’alaikum” berpamitan dan lelaki itu langsung beranjak pergi.
“wa’alaikumsalam”
Naza langsung menutup pintu kembali. Penuh senyum kebahagiaan, senyuman tak henti-henti dari parasnya. Tapi ia juga heran kenapa lelaki itu datang kerumah, cari bapak pula. Ya, fikirannya juga penuh pertanyaan tentang sosok lelaki berpeci putih.
            Sebenarnya lelaki itu sudah tahu siapa Naza dan siapa Naza.Tapi dia mencoba menutupinya, dan Karena dia juga ingin kenal Naza lebih dekat lagi.
***
            Fajar memecah langit, menyeruak di antara awan-awan yang merengkuh malam. Angin yang luar biasa sejuk berhembus. Membangunkan pohon-pohon yang terlihat kecil di pundak gunung seakan angin berkata “Selamat pagi, mari kita hidupkan dunia ini”. Di atas sajadah biru, Naza melantunkan bacaan-bacaan Al Qur’an dengan suara lirih. Namun Nampak keras dalam kesunyian fajar.
            Mentari terbit, mengintip dari ujung timur, sinar lembutnya membelai lembah dan merasuk jendela-jendela rumah. Pepohonan yang dibangunkan angin mengenghembuskan kabut yang berlari menjauhi sang mentari.
            Hari jum’at, semua anggota keluarga Naza kumpul di rumah. Karena hari ini, hari libur dari semua kegiatan, tapi tidak untuk kegiatan di rumah. Setelah sarapan bersama, Naza mulai membuka pembicaraan.
“Pak, tadi malam ada yang cari bapak kok” ucapnya sambil meneguk air putih.
“Siapa nduk?, ada pesan ndak?”
“Nggak tau, kayaknya santri kok. Nggak pernah lihat eg pak”
“Oalah, pasti itu Farhan”
“Lho, bapak kenal dia?”
“Lha iya to, kemarin dia bilang. Mau ada perlu sama bapak, tapi belum ada waktu. Mungkin  baru ada waktu tadi malam, malah bapak ganti bapak yang nggak bisa
“Dia santri mana to pak?”
“Itu to, PPTQnya mbah kyai Fahrobi”
“Emm.. Di PPTQ Ar Rohman itu ya pak?” (Kaget, kagum, bahagia entah apa saja yang Naza rasakan)
“Ya sudah bapak mau ke pekarangan belakang dulu”
            Seraya bapak beranjak pergi, Naza berfikir. –kok kenal ya?, kenapa aku baru tau? –
Tak lama kemudian, Naza pun juga beranjak dari tempat duduk tadi. Namun saat melangkah untuk ketiga, lelaki berpeci putih itu tampak di depan pinti.
“Assalamu’alaikum”
“Eh, Wa’alaikumsalam. Cari bapak ya?”
“Iya”
“Ya sudah, monggo pinarak dulu”
            Naza pun menuju pekarangan belakang rumah. Dan setelah bapaknya menuju ruang tamu ia tak ikut, ia juga tak mau muncul di sana.Tapi tak sengaja ia banyak mendengar obrolan mereka di balik pintu ruang tengah. Dan ternyata Farhan itu sosok insan yang sering melantunkan Al Qur’an dan Adzan di Masjid At Taqwa. Pantas saja ia seperti sudah mengenal Naza. Semenjak itu, Naza mulai menyelidi dan cari tau tentang sosok santri itu.
.....
            Senja kini ditemani gerimis. Awan yang mulanya senyum kini tampak murung dan tak ingin menebarkan senyumnya. Kala itu Naza baru pulang dari rumah Rani yang ada di jantung  kota indah ini. Gerimis pun mulai berlarian dengan cepatnya, awan semakin murung pada  gerimis dan petir agaknya semakn memeluk kota ini. Tiba-tiba handphonenya memanggil, ternyata ada sms masuk
  Dlm khampaan, slalu hnggap d anganQ akn wjahmu,. Sjak Q sring mlihat kau d dpan rumah,.. 5af jka aQ lncang n mngkin kau blum tau cp aQ,.. Q hnya ingin mngungkpkan sbuah rasaQ saja.. #F
            Serentak ia terkejut akan isi sms itu. Pikiran Naza pun bertanya-tanya.
“Dari siapa sms itu?” seketika bola matanya tertuju pada huruf berinisial ‘F’.
Tanpa berfikir panjang Naza membalas sms dari orang yang berinisial ‘F’.
            Afwan, ini cp y,?. Ap anda slah krim,?
Seketika ada balasan dari nomor yang sama
            Maaf jka aku lncang padamu.. tp hati ini tk mampu me2ndam rindu.. aku Farhan
            Melihat kata Farhan ia sangat terkejut dan bertanya-tanya pada hatinya, “Apa ini mimpi?”
            Dalam hati Naza, ia memang memendam rasa yang begitu dalam pada Farhan. Berawal dari tabrakan ringan itu dan lantunan Al-Qur’an nya, tumbuhlah benih-beni cinta diantara keduanya. Naza pun tak menghiraukan sms Farhan. Karena ia berfikir terlalu cepat cinta itu terucap dalam bibir Farhan.
......
            Sinar mentari pagi pun datang menghamiri kabut yang begitu indah pagi ini. Handphone Naza seketika bernyanyi merdu. Naza pun meraihnya dan mengangkat telefon itu.
“assalamu’alaikum” ucap Naza
“wa’alaikumsalam” jawab suara sesosok lelaki yang ternyata adalah Farhan.
“Naza, maaf jika aku terlalu lancang padamu. Ku harap kau tak sedikitpun membenciku. Hanya dirimu yang mampu mengisi kekosongan hatiku. Pancaran seyummu begitu indah mewarnai kehidupanku. Dalam gumpalan darah aku memendam rasa yang begitu indah. Rasa makhabbah (cinta) ku padamu. Aku sangat berharap cintaku padamu kan terbalas dengan cinta yang aku persembahkan untukmu.” Jalas Farhan dengan nada puitisnya.
“apakah secepat itu sampeyan ungkapkan itu padaku mas?” tanya Naza..
“aku tak mau kehilangan dirimu, hatiku hanya ada 1 nama yaitu namamu dek. Aku juga sebenarnya aku sudah mengenal jauh tentang sampeyan, termasuk dari bapakmu dek. Mungkin sampeyan nggak tau.. maaf ya.. gimana perasaanmu padaku?”
“cinta yang sampean berikan untukku begitu murni dan indah. Dalam rangkaian kata-kataku tak mampu mendefinisikan kata ‘cinta’ mas. ‘cintaku juga padamu’. Aku juga sebenarnya sudah mengenal sampeyan lumayan jauh mas, mungkin sampeyan juga nggak tau tha? Namun sampeyan harus tau bahwa aku masih ingin mengejar mimpi-mimpi indah yang belum berhasil  aku rangkul. Aku berharap sampeyan selalu menyemangatiku, namun dalam kamus kehidupanku hanya ada kata ta’aruf” jelas Naza panjang lebar.
            Seketika Farhan berkata pada Naza “Aku akan setia padamu dek”
            Kecelakaan ringan di sudut jalan melati yang sepi itu memberikan arti yang begitu fenomenal di hati Naza. Senja itu. Disaat banyak orang tak mengerti arti senja sesungguhnya, tapi Naza mampu mengerti akan arti senja itu. Karena senja itulah sangat berjasa atas pertemuan antara Naza dan Farhan. Dulu menjadi senja yang tak terduga. Namun kini kerlingan sinar senja yang jelita memeluk Naza. Yaitu sinar bintang senja dalam semburat cinta.

Tamat