Kamis, 23 Juni 2016

Hujan, aku rindu

Hujan, taukah kau tentang rinduku? Aku rindu, sebagaimana bumi merindukanmu sejak kemarin. Dan senja ini, kau hadir membasuhnya. Sepeka itukah engkau? Lalu, bagaimana dengan dia yang ku rindukan?
Hujan, rindu ini sangat kering dan semakin mengering. Sekering dan setandus tanah bumi tanpa hadirmu. Tapi, tak bisa ku bohongi  aku menikmati rindu ini. Sungguh..
Hujan, hingga malam ini kau tetap membawa aroma khasmu. Dingin. Hawa dingin yang lama tak kurasakan. Dan ku akui, bahwa sedingin inilah hatiku saat ini. Hujan, aku rindu dia.
Hujan, bolehkah aku berbisik kepadanya dengan bahasa hati? Bolehkah aku mendengarkan kata-katanya dengan telinga jiwa? Dan ketika ku capai kedekatan dengannya secara tulus dan ikhlas, maka jauhnya tubuh tak masalah bagiku. Hujan, karena itulah aku ingin berbisik kepadanya dengan bahasa hati, walaupun keberadaannya tak disisiku.
Hujan, aku merindukannya sebagaimana surga yang dirindukan. Kerinduan akan sosoknya sebagai kabar yang beredar dan telinga yang mendengar tak akan pernah usai. Hari-hari yang berjalan selalu menggambarkan padaku tentangnya, menerangkan padaku tentang bagaimana ia, dan memperlihatkan apa-apa yang semakin membuatku merindu padanya. Dan semua itu membuatku semakin nyaman bersamanya.
Hujan, aku percaya Allah melihat apa yang terjadi padaku, walau kedua mataku tak bisa melihatnya sendiri. Tentang kerinduanku untuk berjumpa dengan sosoknya, tentang kerinduanku untuk mendengar perkataannya sebagaimana keinginanku untuk mendengar kabar tentangnya.
Hujan, kini ia telah mengetahui rahasia hatiku yang pernah ku pendam. Mungkinkah ia bisa memaklumi apa yang selama ini aku lakukan?

14 Juni 2016
01:05 istiwa'

0 komentar:

Posting Komentar